indonesia

Senin, 08 September 2014

Kain Tenun dan Ciri has Bima


        

Kain tenunan merupakan kain khas Bima yang di buat oleh tangan-tangan trampil dari para wanita dan gadis Bima yang tentunya memiliki keindahan corak dan warna yang memukau hati. Proses pembuatan yang sangat alami menghasilkan kain yang lembut dan nyaman untuk dipakai. Untuk menghasilkan kain yang indah dan benang yang berkualitas juga kuat maka harus di celupkan kedalam "Oi Ncidi" (cairan kental dari hasil menanak nasi), pekerjaan itu di sebut "ngoha" kemudian benang di jemur atau diangin-anginkan dengan "Langgiri" yaitu sebuah alat yang berbentuk kipas pesawat. demikianlah proses pembuatan benang pada jaman dulu dimana pada abad II tahun 1942, Negara kita masih di jajah oleh Bangsa lain yang sengaja tidak diberi kesempatan untuk maju dan berkarya sebagaimana layaknya Negara-negara maju lain pada umumnya.

Identitas suatu budaya dapat beragam bentuk dan jenis dengan keunikan dan kearifan lokalnya masing-masing. Salah satu dari sekian banyak bentuk budaya khas Nusantara adalah ragam tenunan.  Kain tenun mbojo, misalnya, merupakan kain tenun khas asal daerah Bima dan beberapa daerah di sekitar Gunung Tambora, kepulauan Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat

         Kain tenun mbojo telah dikenal sejak dahulu sebagai tenunan Kerajaan Bima, yaitu salah satu Kerajaan Islam yang tersohor di Nusantara bagian Timur. Oleh karenanya, keberadaan kain ini tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam pada masa itu. Selain itu tenunan di identik dengan wanita karena di Bima pekerjaan menenun dilakukan oleh tangan-tangan trampil dari para wanita dan gadis Bima, dan di jadikan sebagai lambang/simbol kewanitaan yang tentunya memiliki keindahan corak dan warna yang memukau hati. untuk menghasilkan kain yang indah, lembut dan nyaman ketika dipakai, mengunakan benang yang berkualitas dengan proses pembuatan warna benang yang khas itu sendiri dipilih dari bahan- bahan alami seperti daun tarum, kulit akar mengkudu, kulit pohon loba, kapur sirih dan gambir. Unsur yang memikat dalam teknologi yang sederhana (Tradisional) di Bima, bukan saja terletak pada keanekaragaman coraknya tapi lebih pada perpaduan warna yang masih mengunakan bahan bahan alami tersebut diatas yang diwariskan oleh nenek moyang atau leluhur dalam keluarga besar seperti;  
  • Warna biru muda Bahan yang di gunakan adalah daun tarum, kapur sirih, abu dan buah kemiri. untuk cara pembuatanya, dengan daun tarum yang sudah tua di rendam dalam periuk tanah sampai hancur atau membusuk, sekitar 48 sampai 96 jam, kemudian dibubuhi sedikit kapur sirih, kapur sirih yang baik mutunya adalah debu atau serbuk kapur dari hasil bakakaran kulit siput, kerang laut, atau karang dan batu apung, sementara karang yang berkualitas dipakai adalah karang gunung karna kandungan garam yang terdapat pada karang tersebut sangat rendah. Untuk mendapatkan hasil yang berkualitas segeralah seratnya di pisahkan dari ampasnya. sebelum bahan yang akan di beri warna terlebih dahulu di masukan kedalam kemiri yang sudah di tumbuk halus, fungsinya, agar zat warna yang akan dicampur nanti mudah meresap kedalam serat benang, tahan lama dan tidak luntur, setelah itu baru benang tersebut di celup dan di rendam dalam sari tarum tersebut sambil di remas-remas untuk memudahkan peresapanya, kemudian di diamkan beberapa jam lalu diangkat, untuk mengeringkannya di gantung pada bambu dan di jemur pada matahari.
  •  Warna biru tua Bahan untuk membuat warna biru tua sama dengan membuat warna biru muda, benang yang telah dikeringkan, pada malam hari dibiarkan kena embun dan di angin-anginkan di siang hari hingga beberapa hari, kemudian direndam lagi ke dalam periuk yang berisi sari tarum, maka akan menghasilkan warna biru tua. 
  •  Warna hitam Proses pembuatan warna hitam pada benang merupakan kelanjutan dari warna biru muda dan biru tua. Setelah beberapakali mengalami proses perendaman dalam sari serum, maka warna benang akan menjadi hitam. dari proses pewarnaan benang dengan bahan yang sama dari warna biru muda, biru tua, kemudian menjadi warna hitam membutuhkan waktu yang cukup lama.  
  • Warna coklat dan Warna merah Warna coklat dan merah bahan dasar yang digunakan adalah kulit akar mengkudu, kulit pohon loba yang kering juga ada yang menggunakan buah sirih dan gambir. Berdasarkan pengalaman turun temurun kulit kering mengkudu yang segar dapat digunakan dengan cara menumbuk dalam lesung, hingga menjadi tepung, dan tepungnya inilah yang akan di masukan ke dalam periuk tanah, kemudian di aduk dan diperas sarinya sedangkan bahan lain seperti kulit loba dan buah sirih yang kering di tumbuk secara terpisah. sesudah itu kedua bahan tersebut di campur dan di aduk sampai rata, kemudian benang yang akan diwarnakan  di masukan kedalam adonan dan  diaduk atau di remas pelan-pelan hingga meresap pada benang, kemudian di diamin hingga terendam beberapa jam dan di jemur pada matahari sampai kering, cara ini dapat dilakukan berulang-ulang sampai menghasilkan warna coklat atau merah yang dikehendaki.
  • Warna kuning  Bahan dasar tradisional untuk memberi warna kuning pada benang tenun adalah kunyit jenis kayu yang menurut istilah disetempat disebut kayu kuning, daun pepaya tua yang berwarna kuning. kunyit dan daun pepaya di tumbuk secara terpisah kemudian tepungnya dicampur dan dimasak bersama benang, lalu di angkat dan di jemur pada matahari. agar  mendapatkan hasil yang maksimal, maka proses pembuatan yang sama bisa dilakukan beberapa kali.
  • Terkait dengan hal tersebut, pada zaman dulu, apabila seorang wanita siap untuk dikawinkan maka dia terlebih dahulu harus mampu menghasilkan kain tenunan yang bagus, dan mahir dalam menenun serta memiliki peralatan tenun yang bagus pula. jika seorang pria ingin mengenal dan meminang gadis, cukup dikenal dikala gadis melakukan kegiatan menenun , dengan mendengar lantunan indah bunyi alat tenun yang dimainkan oleh sang gadis, sehingga bisa disimpulkan bahwa sang gadis telah matang dijadikan istri. Hasil tenunan berupa sarung atau salampe (salempang) dijadikan sebagai alat perkenalan keduanya walaupun belum pernah berjumpa.
    Sebuah kisah seorang pemuda yang ingin meminang seorang gadis membacakan sebuah syair ketika sang gadis sedang melakukan pekerjaan menenun:
    ·         Irama dentingan di hubungkan derajat kepura-puraannya
    ·         Suara kapas yang dipukul memiliki daya tarik sehingga mengundang  perhatian pemuda
    ·   Demikian juga bila wanita berkumpul menumpahkan kapas mereka serasa dihibur oleh puisi-puisi cinta
    Pabila seorang pemuda ingin mengetahui isi hati gadis yang ingin dipinangnya  maka dapat dilihat dan dirasakan lewat senandung bunyi alat tenun yang dimainkan. Karena adat istiadat yang kental merupakan jurang pemisah antara sang pemuda dengan sang gadis, setelah sang pemuda telah mendengarkan irama alat tenun gadis pujaannya, maka keluarlah pantun dan syair darinya sebagai pertanda adanya jalinan komunikasi antara keduanya. selain pada itu ada hal yang paling menarik dalam budaya Bima yaitu dengan memakai Rimpu.

    Rimpu Mbojo
              Sebelum mengenal jenis kain tenun mbojo, ada baiknya mengenal sejarah awal dan pemakaian kain ini. Pada era kesultanan sebelum tahun 1960-an, kain tenun mbojo adalah produk budaya yang penting bagi masyarakat Bima dan merupakan pakaian sehari-hari. Terdapat peraturan adat bahwa setiap wanita yang memasuki usia remaja harus sudah terampil menenun kain mbojo yang akan dikenakannya sendiri atau untuk diperjual belikan sebagai salah satu sumber mata pencaharian wanita Bima. Konon, kain tenun mbojo juga menjadi semacam pakaian wajib yang harus dikenakan wanita muslim Bima saat keluar rumah. Dalam sebuah dekapan tradisi yang kental dengan sebuah budaya murni, indah, agamis tumbuh subur di sebuah negeri yang terhampar indah di ujung timur pulau Sumbawa yaitu daerah Bima yang terdiri dari dua daerah otonomi yaitu Kabupaten Bima dan Kota Bima. Daerah ini sedikit gersang karna di pengaruhi dua musim yaitu iklim tropis, (enam bulan hujan dan enam bulan kemarau). Pernah melekat sebuah tradisi unik, menarik untuk dikaji kembali, Pakaian muslim wanita Bima ini dikenal dengan nama “Budaya Rimpu”. Rimpu menggunaka dua kain tenun ( dua lembar sarung), masing-masing untuk bagian kepala dan bawah. Sarung bagian bawah disebut sanggentu dan bagian atas disebut rimpu, cara memakai rimpu yaitu dengan melilit bagian kepala dan yang nampak hanya bagian muka atau hanya kedua belah mata layaknya berhijab. Rimpu menjadi semacam identitas wanita muslim Bima dan mulai populer sejak  berdirinya negara Islam di Bima, yaitu pada 15 Rabiul Awal 1050 H atau  5 Juli 1640. 

     
    Ada dua jenis pemakaian Rimpu yang didasarkan pada status sosial perempuan Islam di Bima, yaitu rimpu Mpida dan rimpu colo/rimpu cala. 
    . Seiring perkembangan zaman, penggunaan rimpu nyaris sudah ditinggalkan wanita Bima. Kebanyakan mereka sudah mengenakan hijab atau pakaian sehari-hari yang moderen. Hal ini mulai terjadi sejak tahun 1960-an. namun ada di beberapa daerah masih terlihat wanita Islam Bima yang mengenakan rimpu meski terbilang sedikit. Dulu hal yang paling menarik adalah kebiasaan adat masyarakat Bima yang memiliki jiwa sosial yang tinggi dan bergotong royong. Bagi keluarga yang ingin memngadakan hajat biasanya, satu minngu sebelum pelaksanaan dilakukan biasanya persiapan-persiapan seperti menumbuk padi secara bersama-sama, ketika orang lain mendengar ada suara/ buny alat tumbuk lesung padi (Nocu dan Kendei), maka tanpa di undangpun mereka akan datang bergabung untuk ikut membantu. hal itu merupakan sebuah permakluman bahwa beberapa hari lagi akan ada perhelatan perkawinan, atau kegiatan keagamaan. Menumbuk padi dilakukan oleh jiran dan tetangga sekitar. Para ibu akan membawa sumbangan berupa padi beberapa ikat maupun bahan-bahan lain yang diperlukan.  Sebagai penghibur dilakukan kareku kandei atau kareku nocu bersama-sama, sehingga menghasilkan irama yang beraturan dan menjadi suara/bunyi yang indah untuk didengar, hal ini dilakukan sebagai pemberitahuan kepada para masyarakat sekitarnya dan para ibu ini tetap menggunakan rimpu.
    Kehidupan bergotong royong tumbuh bersemi dalam denyut nadi yang di ilhami sebuah prinsip hidup “Kese tahopu dua, dua tahopu tolu” artinya kebersamaan lebih sangat berarti daripada tanpa hubungan sesama. 
 Rimpu Mpida khusus dikenakan wanita yang belum menikah; sarung tenun bagian atas akan menutupi seluruh wajah dan tubuh bagian atas wanita lajang dengan hanya menyisakan bagian matanya saja yang tidak tertutup


        



 Rimpu Colo/Rimpu Cala, bagi wanita yang sudah menikah maka sarung tenun mbojo akan menampakkan keseluruhan wajahnya saja.






Simbol Warna
Penenun Mbojo cenderung mebuat tenunan dengan warna yang memiliki nilai popularitas yang lama berkesan. di antara warna yang di senangi adalah dominan warna merah "kala" yaitu sebuah warna dasar yang sering di kombinasikan dengan perpaduan warna lain. berbagai pendapat dan kepercayaan warna merah memiliki simbol keberuntungan, keberanian yang maknanya memberi kekuatan dalam mengarungi bahktera rumah tangga kelak. selain warna merah ada juga warna unggu "keta" yang memiliki makna pengendalian dan kecerdasan. warna-warna diatas hingga kini masih di pakai oleh para penari dan kelompok budaya yang dilestarikan di Istana Bima . bagi keluarga Istana itu sendiri pada umumnya memakai warna kuning emas (monca) dan hijau muda (jao).  yang memiliki makna kesuburan, kesejahteraan dan kesuksesan. pada dasarnya semua warna merupakan seni keindahan dan kesenangan sebagai perpaduan keinginan pribadi seseorang yang menghasilkan kepuasan dikala memilih warna itu sendiri.
untuk pakain Raja dan Sultan pada zaman dulu kebanyakan memakai warna hitam atau biru yang dihiasi benang perak. selain itu warna putihpun mendominasi pakaian semua lembaga adat di Istana Kerajaan tersebut "Siki Lanta" yaitu pakaian dinas kerajaan jas tutup putih, celana putih lalu dibalut dengan kain/sarung warna hitam atau biru dilengkapi weri, keris dan berkopiah "Songko Pangge Ta'a' seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini.
http://alanmalingi.files.wordpress.com/2013/03/dsc07626.jpg


Motif Sarung Bima
Pada masa kejayaan kesultanan Bima, hasil tenunan seperti Tembe(Sarung), Sambolo(Destar) dan Weri (Ikat Pinggang) cukup laris dalam  perdagangan Nusantara. Para pembeli terpikat dengan tenunan Bima bukan hanya karena mutunya tapi juga mootif khas yang berbeda dengan motif tenunan suku-suku lainnya. Tenunan Bima yang tersohor pada masa itu adalah Tembe songke (Sarung songket) dan Sambolo Songke (Destar Songket).
ada hal yang istimewa yang di dipakai oleh para penenun dalam membuat pola yaitu dengan menggunakan teknik hiasan dinding permadani untuk membuat motif persegi enam yang besar pada pinggir kain salempa yang dipakai untuk melingkari pinggang atau di letakan diatas bahu.

Tenunan Mbojo juga mengunakan tenunan bersambung yaitu dengan motif yang mengingatkan kita pada kain kembang Jawa maupun Sulawesi dan Sumatra yang berkaitan erat hubunganya seperti goa dan melayu. walaupun pengetahuan masyarakat Mbojo sangat minim bila dibandingkan dengan Sulawesi dan Bali, namun mereka juga sangat di kenal dengan "Cheeks" (ciri khas) tersendiri, seperti dengan menggunakan pita lebar yang berwarna merah muda dan di tata secara sistimatis yang lebih di kenal sebagai kain Bugis. pada garis horisontal menggunakan warna merah sedikit  di sebut "Lopa" . penenun menggunakan garis ini sebagi Penta (jarak) dan Nganto (pinggir), dan yang berkenaan dengan panel dibelakang disebut Tinti.
Ragam motif tenunan Bima relatif sedikit bila dibandingkan dengan Jawa dan Bali. Motif tenunan Bima hanya menampilkan satu dari sekitar sembilan ragam motif hiasan dalam satu lembar sarung atau pakaian. Misalnya kalau hiasan bunga sekuntum (Bunga Satako) tidak dapat disertakan dengan Bunga Aruna( Bunga Nenas).Berikut beberapa motif dan makna dari ragam hiasan dalam tenunan khas Bima.
  1. Bunga Samobo (bunga Sekuntum), sebagai mahluk sosial manusia selain bermanfaat bagi dirinya, juga harus bermanfaat bagi orang lain, laksana sekuntum bunga yang memberikan aroma harum bagi lingkungannya.
  2. Bunga Satako (Bunga Setangkai), sebagai simbol kehidupan keluarga yang mampu mewujudkan kebahagiaan bagi anggota keluarga dan masyarakat. Bagaikan setangkai bunga yang selalu menebar keharuman bagi lingkungannya.
  3. Bunga Aruna (Bunga Nenas). Nenas yang terdiri dari 99 sisik (helai) merupakan simbol dari 99 sifat utama Allah yang wajib dipedomani dan diteladani oleh manusia dalam menjalankan kehidupan agar terwujud kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
  4. Bunga Kakando (Rebung) mengandung makna hidup yang penuh dinamika yang mesti jalani dengan penuh semangat.
           Disamping mengenal motif bunga, tenunan Bima juga mengenal motif geometri seperti Gari (garis), Nggusu Tolu atau Pado Tolu ( Segitiga), Nggusu Upa (Segi empat, Pado Waji (Jajaran Genjang), serta Nggusu Waru ( Segi Delapan ). Motif gari (Garis) mengandung makna bahwa manusia harus bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas, seperti lurusnya garis. Nggusu Tolu (Segitiga) berbentuk kerucut mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah yang disimbolkan dalam puncak kerucut yang lancip. Nggusu Upa atau segi empat merupakan simbol kebersamaan dengan tetangga dan kerabat. Motif Pado Waji hampir sama maknanya dengan Nggusu Tolu. Selain mangakui kekuasaan Allah juga harus mengakui kekuasaan pemimpin yang dilukiskan dengan dua sudut tumpul bagian kiri kanannya. Sedangkan Nggusu Waru, idealnya seorang pemimpin harus memenuhi delapan persyaratan yaitu : Beriman dan Bertaqwa, Na Mboto Ilmu Ro Bae Ade (Memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas), Loa Ra Tingi (Cerdas dan terampil), Taho Nggahi Ra Eli (Bertutur kata yang halus dan sopan), Taho Ruku Ro Rawi (Bertingkah laku yang sopan), Londo Ro Dou (Berasal dari keturunan yang baik), Hidi Ro Tahona (Sehat jasmani dan rohani), Mori Ra Woko (Mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari).
seiring berkembangnya zaman, beberapa pita dan warna  persegi yang bisa berbeda dengan setara kain lain. panel serupa dapat dilihat pada cheeks Melayu, Bugis dan Jawa. untuk letak kesenambungan warna dapat pula diubah sesuai keinginan pembeli dan dapat dipesan sebelum memulai dikerjakan dengan meliat contoh kain yang ada. Pembeli/Pemesan dapat menambah dan mengurangi motif dan corak yang dapat dimodifikasi.
Tenunan hiasan dinding dan kain cheeks bisa juga dihias dengan sulaman, tulisan dan hiasan tambahan lain, seperti benang warna dan kain metalik atau pita untuk pengantara jarak lebar dari geometris dan motif tumbuhan seperti terdapat pada corak dan disain Bali atau India. 







Menurut pendapat Buhler dan Fischer 1979:159, bahwa pola awal itu di sebut Patola merupaka salah satu yang terpopuler dari seluruh kain impor dari India ke Asia Tenggara, dan mengilhami penenun Mbojo untuk menghasilkan Nggusu Waru (Segi Delapan) dan bunga Ka Kando (Tunas bambu) motif ini sering digunakan untuk bagian pinggir atau penutup pola bagian tenggah, khususnya pada bagian belakang kain sarung yang terdapat pada kain melayu. 
          Adapun untuk jenis kain tenun mbojo umumnya memiliki beberapa jenis dan fungsi yang dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: tembe (sarung), sambolo (destar), weri (sejenis ikat pinggang), dan baju mbojo.
 1. Tembe (sarung)
Tembe adalah kain tenun bernilai tinggi berupa sarung yang ditenun dengan cara tradisional dan terbuat dari benang kapas. Konon, kawasan Mbojo, yaitu central kain tenun mbojo di Bima memiliki produksi tanaman kapas yang melimpah. Kelimpahan kapas tersebut dan peraturan adat kesultanan telah mewajibkan setiap wanita Bima dapat menenun agar mendorong produksi kain tenun mbojo.
Kain tenun mbojo jenis tembe ini masih terbagi lagi dalam beberapa jenis yang didasarkan pada jenis bahan bakunya. 

tembe sonket
Jenis yang pertama adalah tembe songke (sarung songket) lazim dikenakan wanita saat upacara adat  perkawinan atau pun upacara keagamaan dan tidak untuk kebutuhan pakaian sehari-hari. Tembe Songke umumnya memiliki warna dasar merah hati, coklat, dan hitam. Bahan bakunya untuk benang kain tenun ini didatangkan dari luar Bima, yaitu dari Malaka (Malaysia) dan Dana Bara (Singapura). Para pedagang  Mbojo selain menjual barang dagangannya di negara-negara tersebut mereka juga membeli bahan yang sekira dapat digunakan untuk tenunan. Untuk motifmya berupa motif garis-garis kecil yang dipadukan dengan motif bung

a samobo, bunga satako, pado waji dan kakando. Motif ini diperindah  dengan hiasan bahan benang emas dan perak.

 
tembe nggoli
Jenis yang kedua, tembe kafa na’e (sarung dari benang besar) adalah sarung tenun yang terbuat dari benang khusus yang dibuat oleh para penenun sendiri. Ada 4 jenis motif tembe kafa na’e yang sudah terbilang langka dan mahal harganya. Tembe bali mpida memiliki motif kotak-kotak kecil yang terbentuk dari pertemuan garis-garis lurus. Warna dasar kain tenun jenis ini adalah hitam, coklat, dan putih.
Jenis tembe yang kedua adalah tembe bali lomba memiliki warna dasar dan motif yang hampir sama dengan tembe bali mpida, hanya saja motif kotak-kotaknya berukuran besar. Ketiga, tembe me’e adalah kain tenun dengan warna dasarnya hitam (me’e) tanpa motif. Tembe me’e dibagi lagi menjadi tiga yang didasarkan pada daerah asalnya, yaitu: tembe me’e ntonggu, berasal dari Desa Ntonggu, Kecamatan Palibelo; wera, dari Kecamatan Wera; dan tembe me’e donggo dari Donggo Ipa. Keempat adalah tembe nggoli yang sebenarnya hampir sama degan tembe kafa na’e hanya saja menggunakan benang buatan pabrik. Kain tenun jenis ini baru mulai dikenal masyarakat Bima sejak tahun 1970-an.
2. Sambolo (destar)
Adalah sejenis ikat kepala tradisional mbojo khusus diperuntukkan bagi laki-laki. Ikat kepala ini pada zaman dahulu merupakan hasil tenun unggulan setelah tembe mengingat bahwa laki-laki yang memasuki usia remaja wajib memakai sambolo sebagai  salah satu bentuk menaati peraturan adat masa itu.

Sambolo juga kerap disebut sambolo songke karena warna dasar serta motifnya hampir sama dengan tembe songke. Ada pula jenis lain yang baru dikenal pada era 1950-an, yaitu sambolo bate (sambolo batik) yang terbuat dari kain batik dan bentuknya serupa blankon Jawa tetapi jenis ini kurang diminati.

3. Weri (ikat pinggang) dari Malanta Salolo
Ikat pinggang tradisional mbojo yang terbuat dari malanta salolo, yaitu kain putih tanpa motif yang memang ditenun khusus untuk bahan salolo. Warna ikat pinggang ini beragam mulai dari kuning, merah hati, atau coklat dan berhiaskan motif Pado Waji, Kakando, dan Bunga Satako.

4. Baju Mbojo
Baju Mbojo sebenarnya merupakan kreasi penenun wanita dari kain tenunan  mereka. Baju ini mulai populer sejak tahun 1980-an. Warna dasar dan motifnya tentu saja hampir sama dengan motif tenun yang sudah dibahas, hanya saja ada beberapa dikombinasikan dengan motif-motif baru yang  tentunya tidak bertentangan dengan nilai dan norma adat lokal.


    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar