indonesia

Kamis, 16 Oktober 2014

Menangis karena Takut Allah Swt

Menangis Yang Bermanfaat


Kata ahli Hikmah, "Dunia ini dimulai dengan tangis, dicelahi oleh tangis dan
diakhiri dengan tangis."

Menangis adakalanya dituntut oleh syariat. Orang-orang yang mencintai Allah sepenuh hati, selalu menangis mengenangkan dosanya. Ada bermacam-macam tangisan orang-orang sholeh:

1. Menangis karena malu, seperti tangisan Nabi Adam as.
2. Menangis karena kesalahan, seperti tangisan Nabi Dawud as.
3. Menangis karena takut, seperti tangisan Nabi Yahya bin Zakaria.
4. Menangis karena kehilangan, seperti tangisan Nabi Ya’qub as.
5. Menangis karena Kharisma Ilahi, seperti tangisan seluruh para Nabi as, yaitu dalam firmanNya: “Ketika dibacakan ayat-ayat Sang Rahman kepada mereka, maka mereka bersujud dan menangis.” (Marsyam: 58)
6. Menangis karena rindu dan cinta, seperti tangisan Nabi Syu’aib as, ketika beliau menangis sampai matanya buta, kemudian Allah swt, mengembalikan menjadi sembuh, lalu beliau menangis lagi hingga buta kembali sampai tiga kali.

Lalu Allah swt, memberikan wahyu kepadanya: “Wahai Syu’aib, bila tangisanmu karena engkau takut neraka, Aku sudah benar-benar mengamankan dirimu dari neraka. Dan jika tangismu karena syurga, Aku telah mewajibkan dirimu syurga.”

“Tidak Ya Tuhan, namun aku menangis karena rindu ingin memandangmu…” kata Nabi Syu’aib as.

Kemudian Allah swt, menurunkan wahyu kepadanya, ” Sungguh wahai Syu’aib! Sangat benar orang yang menghendakiKu, menangis dari dalam rindu kepadaKu. Untuk penyakit ini tidak ada obatnya, kecuali bertemu denganKu.”

Diriwayatkan bahwa Nabi saw, bersabda: “Bila seorang hamba menangis karena takut kepada Allah atas masalah ummat, sungguh Allah swt memberikan rahmat bagi ummat itu, karena tangisan hamba tadi.”

Rabi’ah ra, berkata, “Aku menangis selama sepuluh tahun karena merasa jauh dari Allah swt, dan sepuluh tahun lagi menangis karena bersama Allah swt, kemudian sepuluh tahun menangis karena menuju kepada Allah swt. Menangis karena bersama Allah, disebabkan sangat berharap padaNya. Sedangkan menangis jauh dari Allah swt, karena takut kepadaNya. Adapun menangis karena menuju Allah swt, karena sangat rindu kepadaNya.”

Salah satu Sufi berkata, “Aku masuk ke rumah rabi’ah al-Bashriyah, ketika itu ia sedang sujud. Lalu aku duduk di sisinya, hingga ia bangun mengangkat kepalanya.

Kulihat ditempat sujudnya menggenang air matanya. Aku bersalam kepadanya, dan ia jawab salamku. Ia berkata, “Apa kebutuhanmu?” tanyanya.
“Aku ingin datang kepadamu..” kataku.

Lalu ia menangis, dan memalingkan wajahnya dariku. Ketika ia menangis, ia mengatakan, “Sejuknya matahatiku harus datang dariMu? Sungguh mengherankan orang yang mengenalMu, bagaimana ia bisa sibuk dengan selain DiriMu? Mengherankan sekali! Orang yang menghendakiMu, bagaimana ia menginginkan selain DiriMu?”

Mereka memaksa diri menangis apabila mengenang nasib diri di hari akhirat dan membayangkan huru-hara apabila menjelang kiamat.Dalam hal ini menangis adalah dituntut. Setitis airmata yang jatuh karena takutkan Allah akan dapat memadamkan api neraka di hari akhirat kelak.

Dalam sebuah hadis Rasulullah s.a.w bersabda bahwa air mata dari tangisan pembuat dosa yang bertaubat adalah lebih disukai Allah dari tasbih para wali. Rasulullah s.a.w juga ada bersabda: "Kejahatan yang dibuat lalu menimbulkan rasa
sedih adalah lebih baik dari kebaikan yang menimbulkan rasa takbur."

Anas r.a berkata: Pada suatu hari Rasulullah s.a.w berkhutbah, lalu baginda bersabda
dalam khutbahnya itu: "Andaikan kamu mengetahui sebagaimana yang aku ketahui,niscaya kamu akan sedikit ketawa dan banyak menangis."

Anas berkata: seketika itu para sahabat menutup muka masing-masing sambil menangis
teresak-esak.

Hari ini manusia terus menangis dan menangis, tetapi tangisan mereka amat jauh bedanya dengan tangisan para Nabi, Rasul dan sahabat. Jika orang sholeh zaman dahulu menangis karena mengenang nasibnya diakhirat tetapi orang hari ini menangis karena takut kehilangan dunia. Tangisan ini datangnya dari sifat tamak dan tidak ridha.

Kalau orang sholeh takut berpisah dengan iman dan kecintaannya pada Allah, orang hari ini takut berpisah dengan dosa dan maksiat. Jika para Nabi dan rasul serta para sahabat takut menghadapi akhirat, orang hari ini seolah-olah berani dan tidak takut menghadapinya. Tetapi bila orang sholeh berani menghadapi gelombang hidup duniawi, orang hari ini takut dan lemah hati dalam menghadapi kegagalan dan kekecewaan dalam hidup.

Menangis dan menangislah tapi biarlah kena pada tempatnya yang dibolehkan oleh agama. Apa akan jadi jika kita gagal diakhirat? Inilah sebenarnya kegagalan yang total. Jadi kalau perkara ini yang kita tangiskan, memang kenalah pada tempatnya. Abu Hummah(Shadujja) Bin Adilan Albahily r.a berkata: Bersabda Rasulullah s.a.w: "Tiada suatu yang lebih disukai oleh Allah dari dua tetes dan dua bekas. Titisan airmata karena takut kepada Allah dan titisan darah dalam mempertahankan agama Allah. Adapun dua bekas adalah bekas dalam perjuangan fisabilillah dan bekas perjuangan kewajiban kepada Allah." (Riwayat Attirmizi).

http://www.radionuris.com/2010/11/menangis-yang-bermanfaat.html

HARAPAN

Kisah Empat Lilin



Ada empat lilin menyala,
Sedikit demi sedikit habis meleleh.
Suasana begitu sunyi hingga terdengarlan suara mereka.

Lilin pertama berkata:
“Aku adalah damai
Namun manusia tak mampu menjagaku
Maka lebih baik aku mematikan diriku saja!”
Demikian sedikit demi sedikit lilin padam.

Lilin kedua berkata:
“Aku adalah Iman
Sayang aku tak berguna lagi
Manusia tak mau mengenaliku lagi
Untuk itulah tak ada gunanya aku mnyala.”
Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.

Dengan sedih lilin ketiga bicara:
“Aku adalah Cinta
Tak mampu lagi aku tetap menyala
Manusia tak lagi memandang dan menganggapku berguna.
Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya.”
Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah lilin ketiga.

Tanpa terduga, seorang anak masuk kedalam kamar dan melihat ketiga lilin telah padam.
Karena tekut akan kegelapan, ia berkata:
“Ekh apa yang terjadi?!! kalian harus tetap menyala, aku takut akan kegelapan”
Lalu ia menangis tersedu-sedu.

Lalu dengan haru lilin keempat berkata:
“Jangan takut…Jangan menangis…
Selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga lilin lainnya.
Akulah HARAPAN…”

Dengan mata bersinar, sang anak mengmbil LILIN HARAPAN, lalu menyalakan kembali ketiga lilin lainnya. Apalah yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN yang ada dalam hati kita


Sumber: http://kisahkita-tiarmaulidia.blogspot.com/

Rabu, 17 September 2014

Pantai Eksotis dan Fenomenal

Pantai Lariti Merupakan pantai yang fenomenal dan pemandangan yang indah sangat memukau mata yang memandang, seketika ucapan syukur dan pujian atas Kekuasan Sang Pencipta terucapkan, sungguh pemandangan yang menakjubkan bagi siapapun yang meliatnya. Pantai ini belum terjamah oleh apapun, tempatnya yang begitu indah, air yang jernih dan pasir putih yang lembut menambah suasana yang eksotis. terik matahari dan angin yang sedikit kencang juga tempat yang belum begitu memadai, membuktikan bahwa pantai ini belum tersentuh oleh tangan-tangan kreatif namun keindahan yang di tawarkan di pantai ini mampu menghalau rasa panasnya terik matahari dan kembusan pasir putih yang di terpa angin tak membuat hati kami mengeluh. mungkin masih segar dalam ingatan kita tentang kisah nabi Musa AS dan pengikutnya yang di kejar oleh Raja Firaun dengan bala tentaranya, hingga sampai tepat pada bibir pantai. Pada saat itu Nabi Musa as terjebak karna merasa terkepung dan sudah tidak ada tenpat lagi untuk melarikan diri dari kejaran Raja Firaun beserta bala tentaranya, sebab di depanya terbentang lautan yang luas, namun atas Kekuasan Allah Swt  lalu nabi Musa pun memohon pertolongan Allah Swt dengan tongkatnya, dan atas izin Allah Swt laut itupun terbelah menjadi dua dan nabi Musa AS beserta pengikutnya pun selamat sementara Firaun juga dengan bala tentaranya  tengelam bersama ombak yang menderu. seperti itu lah kejadian alam yang terdapat pada  laut yang berada di pantai Lariti dan Fenomenal ini akan muncul di setiap sore hari tepatnya air laut sedang surut, maka kita akan menyaksikan keajaiban dan keindahan yang menakjubkan.
   
 liatlah fato di bawah ini:
sangat menakjubkan bukan? pemandangan yang luar biasa.
 rasa penat dan lelah karna dihadapkan pada kegiatan rutinitas sehari- hari membuat kita tak punya waktu untuk memanjakan diri dengan segala keindahan yang ditawarkan oleh Sang Pencipta, baik itu yang ada dilaut maupun di darat. cobalah kita luangkan sedikit waktu dan berjalan-jalan dengan keluarga menikmati pemandangan pantai yang eksotis sepanjang jalan dan saya yakin anda sekalian tidak akan menyesal untuk datang mengunjungi pantai ini, karna rasa lelah dan penat akan segera terbayarkan semua dengan pemandangan yang fenomenal ini.

     Bila teman-teman berminat untuk mengujungi atau menyaksikan langsung keajaiban dan keindahan yang sungguh memukau hati dan mata memandang, silahkan datang ke Kota Bima tepatnya di Kabupaten Sape Lambu belakang SMK Kelautan Kab. Bima. Saya akan coba menjelaskan rutenya, mungkin akan dapat sedikit membantu untuk memudahkan anda sekalian mencari tempat pantai ini, Dari Pasar Sape lurus di perempatan jalan, belok kiri menuju ke pelabuhan dan belok kanan menuju Lambu, maka kita mengambil jalur belok kanan dari perempatan, jarak sekitar satu kilo dari perempatan ada jembatan kecil, setelah lewatin jembatan, boleh tanya pada orang kampung sekitar itu tentang tempat pantai Lariti, maka akan di arahkan ke gang kecil, tapi jangan khatir  mobil/trukpun bisa masuk ko.., dari mulut gang sampai ke pantainya menempuh jarak sekitar 20 menit namun sepanjang jalan anda sekalian udah di suguhkan dengan pemandangan pantai yang indah hingga sampai pada tujuannya.
 Mungkin hanya ini dulu yang bisa saya infokan, semoga pemandangan diatas dapat memberi inspirasi bagi anda sekalian yang ingin berlibur atau ingin menyegarkan suasana hati dan pikiran yang penat akan segala rutinitas yang ada. http://manage.baliorange.net/aff.php?aff=3247

Jumat, 12 September 2014

10 Cara menjadi Pribadi yang Kuat dan Berwibawa

10 Cara Menjadi Pribadi Yang Kuat dan berwibawa


Menjadi pribadi yang luar biasa, orang dengan karakter hebat dan memiliki keseimbangan hidup yang menjadikannya sebagai manusia extra ordinary. Apa saja sifat-sifat yang dimiliki para pribadi luar biasa itu? Apa ada sifat yang belum kita miliki?
 
Mari kita sama-sama belajar bagaimana menjadi pribadi hebat, yang diidentik dengan pribadi yang senantiasa di hargai menjadi terhormat dan berwibawa.

Ada sepuluh karakter dalam diri sehingga menjadi pribadi yang kuat dan berwibawa:
1. Bersikap Rendah Hati.
Sikap rendah hati mengungkapkan kekuatan bukan kelemahan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain.

2. Positive Thinking
Orang yang bersikap positif (positive thinking) selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dan sebagainya.

3. Bertanggung jawab
Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.

4. Tulus
Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura- pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta.

5. Berjiwa Besar
Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

6. Setia
Kesetiaan sudah menjadi barang langka & sangat tinggi harganya. Orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat.

7. Percaya Diri
Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

8. Selalu Ceria

Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.

9. Easy Going
Orang yang easy going menganggap hidup ini ‘ringan’. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil atau berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stres dengan masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya.

10. Empati
Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.


Senin, 08 September 2014

Kain Tenun dan Ciri has Bima


        

Kain tenunan merupakan kain khas Bima yang di buat oleh tangan-tangan trampil dari para wanita dan gadis Bima yang tentunya memiliki keindahan corak dan warna yang memukau hati. Proses pembuatan yang sangat alami menghasilkan kain yang lembut dan nyaman untuk dipakai. Untuk menghasilkan kain yang indah dan benang yang berkualitas juga kuat maka harus di celupkan kedalam "Oi Ncidi" (cairan kental dari hasil menanak nasi), pekerjaan itu di sebut "ngoha" kemudian benang di jemur atau diangin-anginkan dengan "Langgiri" yaitu sebuah alat yang berbentuk kipas pesawat. demikianlah proses pembuatan benang pada jaman dulu dimana pada abad II tahun 1942, Negara kita masih di jajah oleh Bangsa lain yang sengaja tidak diberi kesempatan untuk maju dan berkarya sebagaimana layaknya Negara-negara maju lain pada umumnya.

Identitas suatu budaya dapat beragam bentuk dan jenis dengan keunikan dan kearifan lokalnya masing-masing. Salah satu dari sekian banyak bentuk budaya khas Nusantara adalah ragam tenunan.  Kain tenun mbojo, misalnya, merupakan kain tenun khas asal daerah Bima dan beberapa daerah di sekitar Gunung Tambora, kepulauan Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat

         Kain tenun mbojo telah dikenal sejak dahulu sebagai tenunan Kerajaan Bima, yaitu salah satu Kerajaan Islam yang tersohor di Nusantara bagian Timur. Oleh karenanya, keberadaan kain ini tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam pada masa itu. Selain itu tenunan di identik dengan wanita karena di Bima pekerjaan menenun dilakukan oleh tangan-tangan trampil dari para wanita dan gadis Bima, dan di jadikan sebagai lambang/simbol kewanitaan yang tentunya memiliki keindahan corak dan warna yang memukau hati. untuk menghasilkan kain yang indah, lembut dan nyaman ketika dipakai, mengunakan benang yang berkualitas dengan proses pembuatan warna benang yang khas itu sendiri dipilih dari bahan- bahan alami seperti daun tarum, kulit akar mengkudu, kulit pohon loba, kapur sirih dan gambir. Unsur yang memikat dalam teknologi yang sederhana (Tradisional) di Bima, bukan saja terletak pada keanekaragaman coraknya tapi lebih pada perpaduan warna yang masih mengunakan bahan bahan alami tersebut diatas yang diwariskan oleh nenek moyang atau leluhur dalam keluarga besar seperti;  
  • Warna biru muda Bahan yang di gunakan adalah daun tarum, kapur sirih, abu dan buah kemiri. untuk cara pembuatanya, dengan daun tarum yang sudah tua di rendam dalam periuk tanah sampai hancur atau membusuk, sekitar 48 sampai 96 jam, kemudian dibubuhi sedikit kapur sirih, kapur sirih yang baik mutunya adalah debu atau serbuk kapur dari hasil bakakaran kulit siput, kerang laut, atau karang dan batu apung, sementara karang yang berkualitas dipakai adalah karang gunung karna kandungan garam yang terdapat pada karang tersebut sangat rendah. Untuk mendapatkan hasil yang berkualitas segeralah seratnya di pisahkan dari ampasnya. sebelum bahan yang akan di beri warna terlebih dahulu di masukan kedalam kemiri yang sudah di tumbuk halus, fungsinya, agar zat warna yang akan dicampur nanti mudah meresap kedalam serat benang, tahan lama dan tidak luntur, setelah itu baru benang tersebut di celup dan di rendam dalam sari tarum tersebut sambil di remas-remas untuk memudahkan peresapanya, kemudian di diamkan beberapa jam lalu diangkat, untuk mengeringkannya di gantung pada bambu dan di jemur pada matahari.
  •  Warna biru tua Bahan untuk membuat warna biru tua sama dengan membuat warna biru muda, benang yang telah dikeringkan, pada malam hari dibiarkan kena embun dan di angin-anginkan di siang hari hingga beberapa hari, kemudian direndam lagi ke dalam periuk yang berisi sari tarum, maka akan menghasilkan warna biru tua. 
  •  Warna hitam Proses pembuatan warna hitam pada benang merupakan kelanjutan dari warna biru muda dan biru tua. Setelah beberapakali mengalami proses perendaman dalam sari serum, maka warna benang akan menjadi hitam. dari proses pewarnaan benang dengan bahan yang sama dari warna biru muda, biru tua, kemudian menjadi warna hitam membutuhkan waktu yang cukup lama.  
  • Warna coklat dan Warna merah Warna coklat dan merah bahan dasar yang digunakan adalah kulit akar mengkudu, kulit pohon loba yang kering juga ada yang menggunakan buah sirih dan gambir. Berdasarkan pengalaman turun temurun kulit kering mengkudu yang segar dapat digunakan dengan cara menumbuk dalam lesung, hingga menjadi tepung, dan tepungnya inilah yang akan di masukan ke dalam periuk tanah, kemudian di aduk dan diperas sarinya sedangkan bahan lain seperti kulit loba dan buah sirih yang kering di tumbuk secara terpisah. sesudah itu kedua bahan tersebut di campur dan di aduk sampai rata, kemudian benang yang akan diwarnakan  di masukan kedalam adonan dan  diaduk atau di remas pelan-pelan hingga meresap pada benang, kemudian di diamin hingga terendam beberapa jam dan di jemur pada matahari sampai kering, cara ini dapat dilakukan berulang-ulang sampai menghasilkan warna coklat atau merah yang dikehendaki.
  • Warna kuning  Bahan dasar tradisional untuk memberi warna kuning pada benang tenun adalah kunyit jenis kayu yang menurut istilah disetempat disebut kayu kuning, daun pepaya tua yang berwarna kuning. kunyit dan daun pepaya di tumbuk secara terpisah kemudian tepungnya dicampur dan dimasak bersama benang, lalu di angkat dan di jemur pada matahari. agar  mendapatkan hasil yang maksimal, maka proses pembuatan yang sama bisa dilakukan beberapa kali.
  • Terkait dengan hal tersebut, pada zaman dulu, apabila seorang wanita siap untuk dikawinkan maka dia terlebih dahulu harus mampu menghasilkan kain tenunan yang bagus, dan mahir dalam menenun serta memiliki peralatan tenun yang bagus pula. jika seorang pria ingin mengenal dan meminang gadis, cukup dikenal dikala gadis melakukan kegiatan menenun , dengan mendengar lantunan indah bunyi alat tenun yang dimainkan oleh sang gadis, sehingga bisa disimpulkan bahwa sang gadis telah matang dijadikan istri. Hasil tenunan berupa sarung atau salampe (salempang) dijadikan sebagai alat perkenalan keduanya walaupun belum pernah berjumpa.
    Sebuah kisah seorang pemuda yang ingin meminang seorang gadis membacakan sebuah syair ketika sang gadis sedang melakukan pekerjaan menenun:
    ·         Irama dentingan di hubungkan derajat kepura-puraannya
    ·         Suara kapas yang dipukul memiliki daya tarik sehingga mengundang  perhatian pemuda
    ·   Demikian juga bila wanita berkumpul menumpahkan kapas mereka serasa dihibur oleh puisi-puisi cinta
    Pabila seorang pemuda ingin mengetahui isi hati gadis yang ingin dipinangnya  maka dapat dilihat dan dirasakan lewat senandung bunyi alat tenun yang dimainkan. Karena adat istiadat yang kental merupakan jurang pemisah antara sang pemuda dengan sang gadis, setelah sang pemuda telah mendengarkan irama alat tenun gadis pujaannya, maka keluarlah pantun dan syair darinya sebagai pertanda adanya jalinan komunikasi antara keduanya. selain pada itu ada hal yang paling menarik dalam budaya Bima yaitu dengan memakai Rimpu.

    Rimpu Mbojo
              Sebelum mengenal jenis kain tenun mbojo, ada baiknya mengenal sejarah awal dan pemakaian kain ini. Pada era kesultanan sebelum tahun 1960-an, kain tenun mbojo adalah produk budaya yang penting bagi masyarakat Bima dan merupakan pakaian sehari-hari. Terdapat peraturan adat bahwa setiap wanita yang memasuki usia remaja harus sudah terampil menenun kain mbojo yang akan dikenakannya sendiri atau untuk diperjual belikan sebagai salah satu sumber mata pencaharian wanita Bima. Konon, kain tenun mbojo juga menjadi semacam pakaian wajib yang harus dikenakan wanita muslim Bima saat keluar rumah. Dalam sebuah dekapan tradisi yang kental dengan sebuah budaya murni, indah, agamis tumbuh subur di sebuah negeri yang terhampar indah di ujung timur pulau Sumbawa yaitu daerah Bima yang terdiri dari dua daerah otonomi yaitu Kabupaten Bima dan Kota Bima. Daerah ini sedikit gersang karna di pengaruhi dua musim yaitu iklim tropis, (enam bulan hujan dan enam bulan kemarau). Pernah melekat sebuah tradisi unik, menarik untuk dikaji kembali, Pakaian muslim wanita Bima ini dikenal dengan nama “Budaya Rimpu”. Rimpu menggunaka dua kain tenun ( dua lembar sarung), masing-masing untuk bagian kepala dan bawah. Sarung bagian bawah disebut sanggentu dan bagian atas disebut rimpu, cara memakai rimpu yaitu dengan melilit bagian kepala dan yang nampak hanya bagian muka atau hanya kedua belah mata layaknya berhijab. Rimpu menjadi semacam identitas wanita muslim Bima dan mulai populer sejak  berdirinya negara Islam di Bima, yaitu pada 15 Rabiul Awal 1050 H atau  5 Juli 1640. 

     
    Ada dua jenis pemakaian Rimpu yang didasarkan pada status sosial perempuan Islam di Bima, yaitu rimpu Mpida dan rimpu colo/rimpu cala. 
    . Seiring perkembangan zaman, penggunaan rimpu nyaris sudah ditinggalkan wanita Bima. Kebanyakan mereka sudah mengenakan hijab atau pakaian sehari-hari yang moderen. Hal ini mulai terjadi sejak tahun 1960-an. namun ada di beberapa daerah masih terlihat wanita Islam Bima yang mengenakan rimpu meski terbilang sedikit. Dulu hal yang paling menarik adalah kebiasaan adat masyarakat Bima yang memiliki jiwa sosial yang tinggi dan bergotong royong. Bagi keluarga yang ingin memngadakan hajat biasanya, satu minngu sebelum pelaksanaan dilakukan biasanya persiapan-persiapan seperti menumbuk padi secara bersama-sama, ketika orang lain mendengar ada suara/ buny alat tumbuk lesung padi (Nocu dan Kendei), maka tanpa di undangpun mereka akan datang bergabung untuk ikut membantu. hal itu merupakan sebuah permakluman bahwa beberapa hari lagi akan ada perhelatan perkawinan, atau kegiatan keagamaan. Menumbuk padi dilakukan oleh jiran dan tetangga sekitar. Para ibu akan membawa sumbangan berupa padi beberapa ikat maupun bahan-bahan lain yang diperlukan.  Sebagai penghibur dilakukan kareku kandei atau kareku nocu bersama-sama, sehingga menghasilkan irama yang beraturan dan menjadi suara/bunyi yang indah untuk didengar, hal ini dilakukan sebagai pemberitahuan kepada para masyarakat sekitarnya dan para ibu ini tetap menggunakan rimpu.
    Kehidupan bergotong royong tumbuh bersemi dalam denyut nadi yang di ilhami sebuah prinsip hidup “Kese tahopu dua, dua tahopu tolu” artinya kebersamaan lebih sangat berarti daripada tanpa hubungan sesama. 
 Rimpu Mpida khusus dikenakan wanita yang belum menikah; sarung tenun bagian atas akan menutupi seluruh wajah dan tubuh bagian atas wanita lajang dengan hanya menyisakan bagian matanya saja yang tidak tertutup


        



 Rimpu Colo/Rimpu Cala, bagi wanita yang sudah menikah maka sarung tenun mbojo akan menampakkan keseluruhan wajahnya saja.






Simbol Warna
Penenun Mbojo cenderung mebuat tenunan dengan warna yang memiliki nilai popularitas yang lama berkesan. di antara warna yang di senangi adalah dominan warna merah "kala" yaitu sebuah warna dasar yang sering di kombinasikan dengan perpaduan warna lain. berbagai pendapat dan kepercayaan warna merah memiliki simbol keberuntungan, keberanian yang maknanya memberi kekuatan dalam mengarungi bahktera rumah tangga kelak. selain warna merah ada juga warna unggu "keta" yang memiliki makna pengendalian dan kecerdasan. warna-warna diatas hingga kini masih di pakai oleh para penari dan kelompok budaya yang dilestarikan di Istana Bima . bagi keluarga Istana itu sendiri pada umumnya memakai warna kuning emas (monca) dan hijau muda (jao).  yang memiliki makna kesuburan, kesejahteraan dan kesuksesan. pada dasarnya semua warna merupakan seni keindahan dan kesenangan sebagai perpaduan keinginan pribadi seseorang yang menghasilkan kepuasan dikala memilih warna itu sendiri.
untuk pakain Raja dan Sultan pada zaman dulu kebanyakan memakai warna hitam atau biru yang dihiasi benang perak. selain itu warna putihpun mendominasi pakaian semua lembaga adat di Istana Kerajaan tersebut "Siki Lanta" yaitu pakaian dinas kerajaan jas tutup putih, celana putih lalu dibalut dengan kain/sarung warna hitam atau biru dilengkapi weri, keris dan berkopiah "Songko Pangge Ta'a' seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini.
http://alanmalingi.files.wordpress.com/2013/03/dsc07626.jpg


Motif Sarung Bima
Pada masa kejayaan kesultanan Bima, hasil tenunan seperti Tembe(Sarung), Sambolo(Destar) dan Weri (Ikat Pinggang) cukup laris dalam  perdagangan Nusantara. Para pembeli terpikat dengan tenunan Bima bukan hanya karena mutunya tapi juga mootif khas yang berbeda dengan motif tenunan suku-suku lainnya. Tenunan Bima yang tersohor pada masa itu adalah Tembe songke (Sarung songket) dan Sambolo Songke (Destar Songket).
ada hal yang istimewa yang di dipakai oleh para penenun dalam membuat pola yaitu dengan menggunakan teknik hiasan dinding permadani untuk membuat motif persegi enam yang besar pada pinggir kain salempa yang dipakai untuk melingkari pinggang atau di letakan diatas bahu.

Tenunan Mbojo juga mengunakan tenunan bersambung yaitu dengan motif yang mengingatkan kita pada kain kembang Jawa maupun Sulawesi dan Sumatra yang berkaitan erat hubunganya seperti goa dan melayu. walaupun pengetahuan masyarakat Mbojo sangat minim bila dibandingkan dengan Sulawesi dan Bali, namun mereka juga sangat di kenal dengan "Cheeks" (ciri khas) tersendiri, seperti dengan menggunakan pita lebar yang berwarna merah muda dan di tata secara sistimatis yang lebih di kenal sebagai kain Bugis. pada garis horisontal menggunakan warna merah sedikit  di sebut "Lopa" . penenun menggunakan garis ini sebagi Penta (jarak) dan Nganto (pinggir), dan yang berkenaan dengan panel dibelakang disebut Tinti.
Ragam motif tenunan Bima relatif sedikit bila dibandingkan dengan Jawa dan Bali. Motif tenunan Bima hanya menampilkan satu dari sekitar sembilan ragam motif hiasan dalam satu lembar sarung atau pakaian. Misalnya kalau hiasan bunga sekuntum (Bunga Satako) tidak dapat disertakan dengan Bunga Aruna( Bunga Nenas).Berikut beberapa motif dan makna dari ragam hiasan dalam tenunan khas Bima.
  1. Bunga Samobo (bunga Sekuntum), sebagai mahluk sosial manusia selain bermanfaat bagi dirinya, juga harus bermanfaat bagi orang lain, laksana sekuntum bunga yang memberikan aroma harum bagi lingkungannya.
  2. Bunga Satako (Bunga Setangkai), sebagai simbol kehidupan keluarga yang mampu mewujudkan kebahagiaan bagi anggota keluarga dan masyarakat. Bagaikan setangkai bunga yang selalu menebar keharuman bagi lingkungannya.
  3. Bunga Aruna (Bunga Nenas). Nenas yang terdiri dari 99 sisik (helai) merupakan simbol dari 99 sifat utama Allah yang wajib dipedomani dan diteladani oleh manusia dalam menjalankan kehidupan agar terwujud kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
  4. Bunga Kakando (Rebung) mengandung makna hidup yang penuh dinamika yang mesti jalani dengan penuh semangat.
           Disamping mengenal motif bunga, tenunan Bima juga mengenal motif geometri seperti Gari (garis), Nggusu Tolu atau Pado Tolu ( Segitiga), Nggusu Upa (Segi empat, Pado Waji (Jajaran Genjang), serta Nggusu Waru ( Segi Delapan ). Motif gari (Garis) mengandung makna bahwa manusia harus bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas, seperti lurusnya garis. Nggusu Tolu (Segitiga) berbentuk kerucut mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah yang disimbolkan dalam puncak kerucut yang lancip. Nggusu Upa atau segi empat merupakan simbol kebersamaan dengan tetangga dan kerabat. Motif Pado Waji hampir sama maknanya dengan Nggusu Tolu. Selain mangakui kekuasaan Allah juga harus mengakui kekuasaan pemimpin yang dilukiskan dengan dua sudut tumpul bagian kiri kanannya. Sedangkan Nggusu Waru, idealnya seorang pemimpin harus memenuhi delapan persyaratan yaitu : Beriman dan Bertaqwa, Na Mboto Ilmu Ro Bae Ade (Memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas), Loa Ra Tingi (Cerdas dan terampil), Taho Nggahi Ra Eli (Bertutur kata yang halus dan sopan), Taho Ruku Ro Rawi (Bertingkah laku yang sopan), Londo Ro Dou (Berasal dari keturunan yang baik), Hidi Ro Tahona (Sehat jasmani dan rohani), Mori Ra Woko (Mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari).
seiring berkembangnya zaman, beberapa pita dan warna  persegi yang bisa berbeda dengan setara kain lain. panel serupa dapat dilihat pada cheeks Melayu, Bugis dan Jawa. untuk letak kesenambungan warna dapat pula diubah sesuai keinginan pembeli dan dapat dipesan sebelum memulai dikerjakan dengan meliat contoh kain yang ada. Pembeli/Pemesan dapat menambah dan mengurangi motif dan corak yang dapat dimodifikasi.
Tenunan hiasan dinding dan kain cheeks bisa juga dihias dengan sulaman, tulisan dan hiasan tambahan lain, seperti benang warna dan kain metalik atau pita untuk pengantara jarak lebar dari geometris dan motif tumbuhan seperti terdapat pada corak dan disain Bali atau India. 







Menurut pendapat Buhler dan Fischer 1979:159, bahwa pola awal itu di sebut Patola merupaka salah satu yang terpopuler dari seluruh kain impor dari India ke Asia Tenggara, dan mengilhami penenun Mbojo untuk menghasilkan Nggusu Waru (Segi Delapan) dan bunga Ka Kando (Tunas bambu) motif ini sering digunakan untuk bagian pinggir atau penutup pola bagian tenggah, khususnya pada bagian belakang kain sarung yang terdapat pada kain melayu. 
          Adapun untuk jenis kain tenun mbojo umumnya memiliki beberapa jenis dan fungsi yang dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: tembe (sarung), sambolo (destar), weri (sejenis ikat pinggang), dan baju mbojo.
 1. Tembe (sarung)
Tembe adalah kain tenun bernilai tinggi berupa sarung yang ditenun dengan cara tradisional dan terbuat dari benang kapas. Konon, kawasan Mbojo, yaitu central kain tenun mbojo di Bima memiliki produksi tanaman kapas yang melimpah. Kelimpahan kapas tersebut dan peraturan adat kesultanan telah mewajibkan setiap wanita Bima dapat menenun agar mendorong produksi kain tenun mbojo.
Kain tenun mbojo jenis tembe ini masih terbagi lagi dalam beberapa jenis yang didasarkan pada jenis bahan bakunya. 

tembe sonket
Jenis yang pertama adalah tembe songke (sarung songket) lazim dikenakan wanita saat upacara adat  perkawinan atau pun upacara keagamaan dan tidak untuk kebutuhan pakaian sehari-hari. Tembe Songke umumnya memiliki warna dasar merah hati, coklat, dan hitam. Bahan bakunya untuk benang kain tenun ini didatangkan dari luar Bima, yaitu dari Malaka (Malaysia) dan Dana Bara (Singapura). Para pedagang  Mbojo selain menjual barang dagangannya di negara-negara tersebut mereka juga membeli bahan yang sekira dapat digunakan untuk tenunan. Untuk motifmya berupa motif garis-garis kecil yang dipadukan dengan motif bung

a samobo, bunga satako, pado waji dan kakando. Motif ini diperindah  dengan hiasan bahan benang emas dan perak.

 
tembe nggoli
Jenis yang kedua, tembe kafa na’e (sarung dari benang besar) adalah sarung tenun yang terbuat dari benang khusus yang dibuat oleh para penenun sendiri. Ada 4 jenis motif tembe kafa na’e yang sudah terbilang langka dan mahal harganya. Tembe bali mpida memiliki motif kotak-kotak kecil yang terbentuk dari pertemuan garis-garis lurus. Warna dasar kain tenun jenis ini adalah hitam, coklat, dan putih.
Jenis tembe yang kedua adalah tembe bali lomba memiliki warna dasar dan motif yang hampir sama dengan tembe bali mpida, hanya saja motif kotak-kotaknya berukuran besar. Ketiga, tembe me’e adalah kain tenun dengan warna dasarnya hitam (me’e) tanpa motif. Tembe me’e dibagi lagi menjadi tiga yang didasarkan pada daerah asalnya, yaitu: tembe me’e ntonggu, berasal dari Desa Ntonggu, Kecamatan Palibelo; wera, dari Kecamatan Wera; dan tembe me’e donggo dari Donggo Ipa. Keempat adalah tembe nggoli yang sebenarnya hampir sama degan tembe kafa na’e hanya saja menggunakan benang buatan pabrik. Kain tenun jenis ini baru mulai dikenal masyarakat Bima sejak tahun 1970-an.
2. Sambolo (destar)
Adalah sejenis ikat kepala tradisional mbojo khusus diperuntukkan bagi laki-laki. Ikat kepala ini pada zaman dahulu merupakan hasil tenun unggulan setelah tembe mengingat bahwa laki-laki yang memasuki usia remaja wajib memakai sambolo sebagai  salah satu bentuk menaati peraturan adat masa itu.

Sambolo juga kerap disebut sambolo songke karena warna dasar serta motifnya hampir sama dengan tembe songke. Ada pula jenis lain yang baru dikenal pada era 1950-an, yaitu sambolo bate (sambolo batik) yang terbuat dari kain batik dan bentuknya serupa blankon Jawa tetapi jenis ini kurang diminati.

3. Weri (ikat pinggang) dari Malanta Salolo
Ikat pinggang tradisional mbojo yang terbuat dari malanta salolo, yaitu kain putih tanpa motif yang memang ditenun khusus untuk bahan salolo. Warna ikat pinggang ini beragam mulai dari kuning, merah hati, atau coklat dan berhiaskan motif Pado Waji, Kakando, dan Bunga Satako.

4. Baju Mbojo
Baju Mbojo sebenarnya merupakan kreasi penenun wanita dari kain tenunan  mereka. Baju ini mulai populer sejak tahun 1980-an. Warna dasar dan motifnya tentu saja hampir sama dengan motif tenun yang sudah dibahas, hanya saja ada beberapa dikombinasikan dengan motif-motif baru yang  tentunya tidak bertentangan dengan nilai dan norma adat lokal.